BUKAN GENERASI BIASA
Ruang kelas 10m × 10m, aku duduk di pojok ruangan itu, menyendiri dan
bersandar pada dinding ubin putih.Aku memandang bosan ke arah papan tulis,
melihat ratusan huruf yang semakin lama semakin bertambah jumlahnya. Namun, aku
lebih bosan lagi mendengar suaranya. Dia yang sedang menjelaskan sebuah materi
yang aku pun tidak tahu apa materi tersebut.Namanya Bu Lisa, guru matematika,
yang sekarang sedang menghadap papan tulis putihsembari menjelaskan apa yang ia
tulis. Saat dia sudah di depan, tak ada yang berani berbicara dengan teman
bahkan bisik-bisik pun tidak. Seakan-akan kehadirannya memberikan kengerian
tersendiri bagi murid-muridnya.
Tik... tik... tik...
Jarum jam dinding terus berjalan. Semakin ditunggu semakin terasa lama. Untungnya
Bu Lisa sudah berhenti berpidato di depan kelas. Setidaknya hal itu mengurangi rasa
bosanku walau hanya sedikit. Aku tahu apa yang ada di pikiran teman-temanku.
Mereka pasti menunggu pukul 10.15, jam istirahat. Dan.....
Kringggg.....
Yang mereka tunggu telah tiba. Semangat mereka seketika kembali. Semuanya
langsung berdiri dari tempat duduk. Beberapa detik kemudian kelas sudah kosong,
menyisakan aku dan Kai, salah satu dari sekian banyak sahabatku.
“Mau
kemana?” tanya Kai singkat.
“Gtw.”
“Kita
ke kantin, kuy!” ajak Kai.
Kai langsung jalan menuju kantin tanpa menunggu jawabanku.Menyebalkan.
Aku terpaksa mengikutinya walau sebenarnya aku malas.Kami melewati ruang kelas
XI, lorong kecil, lapangan voli, dan tiba di kantin yang sudah cukup padat. Kai
berjalan ke arah meja di luar area kantin yang terletak di dekat taman. Disitu
sudah ada Olla, Ellen, Selvie, dan Jollyn. Tersisa dua tempat kosong lagi, yaitu
untuk aku dan Kai.Tanpa menunggu aba-aba duduk, kami sudah duduk.
Sunyi. Satu kata untuk menggambarkan suasana di meja kayu yang
dikelilingi enam siswi SMA ini. Dibandingkan dengan suasana di dalam area
kantin, meja kayu ini terasa hambar. Area kantin dipenuhi siswa siswi yang
sedang menikmati makanan atau bergurau dengan teman dekatnya di satu meja. Itu
yang memang seharusnya dilakukan. Namun kami, berada dalam satu meja tanpa
adanya suatu percakapan dan kegiatan selain memandang ke arah ponsel kami masing-masing.
Phubbing. Istilah itu cocok untuk sikap kami. Sikap
kami yang saling acuh tak acuh karena terlalu fokus dengan ponsel dari pada
membangun sebuah percakapan.Terutama Ellen, seorang selebgram dengan followerslebih dari tiga ratus ribu. Ia
lebih mementingkan followers daripada
pertemanan. Satu hal yang dapat menyudahi semua ini, bunyi bel masuk.
“Gw
balik, ya,” kata Selvie.Tanpa pamit Olla, Ellen, dan Jollyn juga ikut kembali.
Kami kembali ke kelas masing-masing. Aku dan Kai di kelas XII C. Olla
dan Ellen di kelas XII A. Selvie di kelas XII E. Jollyn di kelas XII F.
Aku masuk kelas dan semua temanku sudah duduk rapi di atas kursi.Sesiap
itukah mereka menerima pelajaran? Aku yakin tidak. Itu hanya bagian dari
pencitraan yang mereka lakukan demi mendapat nilai sikap A. Nilai yang
benar-benar kami butuhkan. Apalagi kami sudah kelas XII, sebentar lagi kami
sudah menghadapi Ujian Nasional, artinya sebentar lagi kami akan lulus. Untuk
mendapat kelulusan kami harus bekerja keras mendapat nilai. Tidak hanya melalui
nilai UN, nilai sikap juga kami butuhkan.
Pak Romi, guru fisika, masuk ke kelas dan menyapa kami, “Selamat
siang...”
“Siang, Pak...” jawab sekelas serempak.
Pak Romi membagikan beberapa kertas berisi lima puluh soal fisika yang
harus kita kerjakan.
“Kalian kerjakan, ya! Jangan berisik. Bapak akan menilai ulangan kalian.”
Suasana kelas langsung hening. Setiap mata mereka langsung menatap pada
soal. Tangan mereka sergap mengenggam pensil. Otak mereka mulai berpikir. Semuanya
diam. Kelas terasa sunyi menyisakan suara baling-baling kipas angin yang terus
berputar. Sesekali anak-anak yang merasa frustasi dengan soal
mengetuk-ngetukkan pensil mereka pada meja atau membuat ketukan dengan kaki.
Tidak ada yang merasa terganggu dengan suara tersebut. Mereka tetap bisa fokus.
Namun, lama kelamaan aku bosan dengan suasana ini. Aku pusing dengan soal ini. Aku
menyegarkan pikiranku dengan bermain ponsel.
“Kai... Kai...”
“Apa?” tanya Kai.
“Gw lagi mabar, nih. Lu ikutan ga?” aku mengajak Kai.
“Kuota gw habis. Lagian lu ga takut ketahuan?”
“Ga lah. Gw kan mainnya di bawah.”
“Iya juga, sih. Emang lu udah selesai ngerjain?”
“Gwgangerjain. Nanti kalo lu udah selesai gw liat,” jawabku santai.
“Tapi nanti lu beliingw baju yang kemarin, ya,” Kai menatap licik.
“Iya-iya...” aku terpaksa menurutinya.
Kai kembali mengerjakan soal.Aku semakin asyik bermain gameonline.Tiba-tiba peluru pistolku
habis. Tanpa sadar aku berteriak keras memenuhi ruangan. Membuat semua mata
tertuju padaku.
“HADUHHHHH.... PELURUKU HABISSSSS....”
Pak Romi langsung berjalan ke mejaku dan menarik handphoneku dari tanganku.
“Itu kan handphonesaya, Pak.
Bapak ga ada hak ngambil-ngambil.”
“Kok kamu ga sopan.”
“Bapak yang ga sopan! Tiba-tiba ambil handphonesaya.”
“Ini pelajaran, Sherlyn!” Pak Romi semakin tegas.
“Siapa bilang ini liburan. Saya juga tahu itu, Pak.”
“KELUAR KAMU!”
Bentakan Pak Romi memenuhi seluruh kelas. Suaranya mengalir hingga ke sudut
ruangan. Semua siswa memandang ke arahku. Aku berhenti sejenak, menatap wajah
Pak Romi kesal. Beberapa detik kemudian aku berdiri. Menatap seluruh kelas dan
pergi dengan gaya yang sombong. Aku membuka pintu kelas, lalu keluar dan
menutupnya secara keras. Pelajaran kembali berlangsung. Beberapa menit
kemudian, bel terdengar. Waktunya pulang.
Saat bel terdengar, semua sibuk memasukkan buku-buku dan alat tulis di
atas meja ke dalam tas. Seketika di atas meja tidak ada barang apa pun, kecuali
di mejaku yang masih penuh barang. Saat semua siswa sudah keluar kelas,
termasuk Pak Romi, aku masuk ke kelas. Kai masihmenungguku dalam kelas.
“Keren lu tadi. Bisa marah kayak gitu,” puji Kai.
“Hahaha. Udah biasa. Gw yakin lu kalo jadi gw bisa lebih marah dari
itu,” aku balik memuji.
“Ya udah ayo cepetan keluar. Yang
lain pasti udahnunggu. Lu jadi beliingw baju kan?” Kai kembali mengingatkan
janjiku.
“Iya iya...”
Aku dan kai pergi ke mall.Kami tidak hanya berdua, kami mengajak Ellen,
Olla, Selvie dan Jollyn. Dengan terpaksa aku tidak hanya membelikan baju untuk
Kai, namun untuk semuanya. Apalagi baju itu berharga mahal. Baju dengan stok
terbatas. Terlihat paling wah diantara baju lain. Terletak paling depan. Baju
dengan merk terkenal yang berasal dari luar negeri.
Tak hanya ke mall. Jollyn mengajak kami ke karaoke. Sudah lama kami
tidak ke sana. Kami berkelana hingga lupa waktu, terlalu menikmati musik
karaoke. Saat kami keluar, karaoke sudah akan tutup, satu jam lagi. Matahari
sudah tenggelam jauh di sana. Langit sudah benar-benar gelap. Bintang-bintang
menghiasi langit. Bulan tersenyum kepada bumi. Jalanan sudah sunyi. Semua orang
sudah terlelap dalam mimpi. Mata mereka sudah terkejap melupakan hari ini. Ini
sudah pukul 23.00.
Aku pulang tanpa takut. Tidak peduli apa kata orang tuaku.
“Kok baru pulang?” Ibuku bertanya serius.
“Habis dari karaoke,” aku menjawab cuek sambil terus berjalan menaiki
tangga menuju kamar.
“Kalau besok kamu pulang lebih dari jam satu siang, pintu sudah mama
kunci.”
“Ga bisa gitudong, Ma. Aku juga butuh hiburan,” aku mencoba berkompromi.
“Kamu terlalu banyak hiburan. Nilai kamu turun semua. Mama juga tahu
kalau tadi kamu disuruh keluar dari kelas. Sudah berapa kali kamu dihukum? Kamu
sudah seperti anak tanpa etika. Setiap hari keluar, pulang malam. Besok pak
sopir ga bisa ngantar. Kamu pulang sendiri. Ingat, jangan lebih dari jam satu
siang,” Ia langsung pergi meninggalkanku.
Mau tidak mau aku harus mau. Walau mulutku ingin memberi pembelaan,
namun rahangku hanya ingin mematung. Tubuh ini hanya terpaku di anak tangga. Tanganku
mengepal keras lalu kulemaskan kembali. Kakiku ingin berlari membantah, namun
tumitku serasa mati rasa. Mau tidak mau aku harus mau.
***
Mataku fokus memperhatikan jam dinding. Tangan kananku terus
mengetuk-ngetuk meja. Tangan kiriku terus menggoyangkan pensil 2B. Kakiku terus
menghentak-hentak lantai. Telingaku hanya mendengar detakan jarum jam yang
berjalan beiringan. Jarum panjang di angka sebelas. Terus berjalan. Sedikit
lagi mencapai angka dua belas tepat. Aku terus menghitung dalam hati.
Satuuuu.... duaaaa.... tiiii.... gaaaa.....
Kringgggg....
Jarum bertumpukan, pukul 12.00.Perhitunganku tepat. Otakku yang sedari tadi
tidak terhubung dengan pelajaran membuat aku langsung bangkit berdiri, tegak,
sigap, siap untuk pulang.Semua buku sudah aku masukkan ke dalam tas. Aku
langsung menggendong tasku. Terasa ringan. Dari enam mata pelajaran yang ada
pada hari ini, aku hanya membawa dua buku paket dan satu buku tulis campuran
yang tak pernah ada isinya. Aku segera beranjak pergi meninggalkan kelas.
Mendadak tubuhku tertarik, ternyata Kai menarik ranselku. Aku memutar
badanku, menatap Kai binggung.
“Lu ikut ke kafe kan?” jawabannya seakan-akan ia tahu arti pandanganku
adalah untuk bertanya ‘apa?’.
“Ga.”
“Loh... Kenapa?” mimik wajahnya berubah kesal. Aku tahu aku sudah
berjanji. Tetapi saat ‘ibu negara’ sudah melarang, aku bisa apa.
“Nyokapgw marah,” aku malas menjawab.
“Ngapainnyokap lu tiba-tiba marah?”
“Gapapa,” aku semakin malas menjelaskan. Aku langsung keluar kelas
meninggalkan Kai sendiri. Tidak peduli dengan yang ada di pikirannya.
***
Perjalanan pulang, menyusuri jalan raya untuk tiba di suatu perumahan
elit di kota ini. Nomer 23, itu rumahku. Hari ini dengan terpaksa aku harus
berjalan kaki di bawah terik matahari pukul 12.00 yang tepat di atas kepalaku.
Sopirku tidak bisa mengantar, handphonekukehabisan
baterai, dompetku tertinggal di rumah, uang sakuku habis, mama menyuruhku
pulang sebelum jam satu siang. Kesialanku sungguh bertubi-tubi.Hari itu aku
benar-benar kesal. Belum pernah aku harus berjalan kaki sejauh satu kilometer
apalagi di siang hari seperti ini. Kekesalanku semakin menjadi-jadi saat ada
orangyang tiba-tiba membuang gelas plastik berlogo restoran makanan cepat saji
yang masih berisi soda. Tepat sasaran, gelas plastik itu mengenai seragamku. Aku
menoleh ke arah mobil itu dan memandangnya hingga mobil itu sudah melaju jauh
dan tidak nampak lagi. Aku menggerutu dalam hati. Terus melanjutkan perjalanan
ke rumah. Terus melangkahkan kaki di trotoar, sesekali duduk di kursi besi yang
terletak di pinggir trotoar. Menikmati bisingnya suara kendaraan. Menilik
keramaian kota. Bersandar, menghela napas, mencoba melupakan segala kesialanku
hari ini.
Seorang anak kecil duduk disebelahku. Pakaiannya compang camping penuh
noda. Wajahnya penuh peluh. Dipelipisnya jatuh keringat. Sesekali tangan
mungilnya mengusap wajah. Peluh itu nampak jelas. Sedikit membuat rambutnya
yang terikat tidak teratur dengan karet usang menjadi lepek. Kakinya berjalan
tanpa alas. Napasnya tersenggal-senggal. Aku menatapnya lamat-lamat, beberapa detik
hingga ia sadar bahwa sedang aku perhatikan.
“Eh...” kataku terkejut.
Ia balik menatapku serius, dari ujung rambut hingga ke sol sepatuku.
Raut wajahnya berubah.
“Wah, kakak sekolah di SMA Merpati, ya! Bagaimana rasanya sekolah di
sana, Kak? Pasti seru bisa sekolah di
sana. Aku dengar di sekolah itu ada kolam renang yang sangat luas,
lapangan olahraga yang besar, taman bunga yang indah, laluuuu....” kalimatnya
terhenti, sejenak ia berpikir.
“Galeri seni yang artistik?” aku mencoba mengerti apa yang sedang dia
ingat.
“Ya, betul! Itu yang aku maksud. Hanya di sekolah-sekolah milik Yayasan
Merpati yang memiliki galeri seni itu. Galeri yang menyimpan ribuan karya
indah. Dulu sewaktu aku masih sekolah di SD Merpati karyaku pernah ada di
sana,” raut wajahnya yang gembira dan antusias menjadi murung. Aku sendiri
terkejut bahwa anak ini pernah sekolah di sana. Sekolah-sekolah milik Yayasan
Merpati terkenal dengan biayanya yang selangit. Namun, memiliki fasilitas yang
lengkap dan modern. Kalau dilihat dari pakaian anak ini, pandangan pertama kita
adalah dia tidak sekolah. Lalu, bagaimana bisa dia bersekolah di sekolah di
sekolah termahal di kota ini? Gumamku dalam hati.
“Dulu sewaktu orang tuaku masih hidup aku bersekolah di sana, SD
Merpati. Aku punya banyak teman. Mereka selalu aku ajak bermain di rumahku.
Rumahku dulu tak jauh dari sini, di Perumahan Indah.”
Perumahan Indah, itu perumahan elitdimana rumahku berada.
“Perumahan Indah? Hey, rumahku juga disana,” kataku yang semakin
antusias dengan ceritanya.
“Wow, rumah berarti dulu aku tetanggaan dengan kakak! Dulu Ibu selalu
bilang bahwa aku harus jadi anak rajin karena kita tidak seterusnya bisa jadi
orang dengan ekonomi tinggi. Ibu selalu bilang bahwa tidak selamanya aku akan
tinggal di rumah mewah itu. Ibu pernah bilang jangan sampai aku seperti anak
tetangga. Dia pemalas dan selalu keluyuran. Padahal dahulunya dia pernah
menjuarai lomba melukis, aku pernah melihat karyanya di galeri seni Merpati.
Lalu, sekarang dia sudah tidak pernah meneruskan bakatnya, memegang kuas pun
tak pernah. Sekarang ia lebih sering jalan-jalan dengan temannya, menghabiskan
uang untuk berbelanja, bermain ponsel, semakin lama nilainya semakin turun,
bakatnya semakin terpendam. Padahal ia memiliki potensi besar, aku saja iri
dengan dia. Aku senang melukis, namun lukisanku tidak sebagus lukisan anak itu.Seandainya
aku jadi anak itu, aku akan benar-benar mengembangkan bakatku, aku akan
menghabiskan waktu-waktuku bersama kuas dan cat. Aku akan memenuhi kanvas
dengan karyaku. Seluruh galeri seni akan penuh oleh kerja tanganku. Sayangnya
aku bukan dia. Banyak orang ingin menjadi seperti dia. Namun, dia malah merusaknya.”
Tunggu, apakah maksud anak itu adalah aku? Aku dahulu pernah menjuarai
lomba melukis hingga internasional. Karyaku terpampang besar di galeri seni
Merpati. Seluruh Asia telah melihat karya sentuhan tangan anak sekolah dasar yang
telah menyamai kemampuan seniman dewasa. Apakah benar itu aku? Aku sekarang
telah meninggalkan kuas dan cat. Aku tidak pernah menyentuh mereka lagi. Aku
sudah tidak pernah membuat kuas menari-nari elok di atas kanvas. Aku sudah tidak
pernah membuat cat menghiasi kertas-kertas gambar. Aku sudah tidak pernah
memenuhi ruanganku dengan lukisan.Apakah itu aku? Aku selalu menghabiskan
waktu-waktuku untuk bermain ponsel. Padahal dahulu aku selalu memanfaatkan
waktu istirahat untuk melukis. Aku selalu menggunakan malam-malamku untuk ke
kafe dengan Kai, Ellen, Olla, Selvie, dan Jollyn. Aku selalu menggunakan hari
liburku untuk belanja barang-barang mewah seperti yang sering digunakan
teman-temanku. Aku telah meninggalkan semuanya. Keluarga, pendidikan, tata
krama, moral, hobi, dan cita-cita, semenjak menjadi generasi milenial. Itu
sebutan orang dunia untuk generasi ini. Semenjak jadi bagian dari generasi ini,
hidupku hanya berisi kesenangan. Tidak memikirkan urusan pendidikan. Aku benar-benar
meninggalkannya jauh di belakang. Kata-kata anak kecil ini benar, yang ia
maksud pasti aku, kata-katanya membuat aku sadar bagaimana aku yang sekarang.
“Siapa anak itu?” aku bertanya untuk memastikan.
“Dia tinggal di rumah nomer 23. Aku tidak tahu namanya.”
Dan benar itu aku. Sungguh itu aku.
***
Kata-katanya terus menancap tajam di benakku. Semakin aku mencoba
melupakan, aku semakin mengingat detail perkataannya. Semenjak hari itu, semua
orang memandangku aneh. Aku mencoba berubah menjadi aku yang dulu, aku delapan
tahun yang lalu. Waktu istirahatku aku gunakan untuk mencari inspirasi gambar
dan membuat sketsa. Setelah sekolah usai aku sudah tidak pernah lagi keluar,
aku hanya mengunjungi satu tempatdimana puluhan karyaku terpampang, ratusanideku
tertuang, ribuan inspirasiku terbentang, membuat jutaan orang tercengang. Impianku
yang dulu tertinggal disana, aku akan menjemputnya segera, sekarang. Galeri
seni. Bagiku tempat itu lebih dari sekedar galeri dengan ribuan karya calon
seniman, galeri seni adalah tempat dimana aku memulai mimpiku.
Kamarku yang dahulu berantakan oleh baju-baju baru dan tas belanja, kini
telah terpenuhi oleh alat melukis. Aku sudah memiliki ide.Aku akan menuangkan
ideku pada kanvas. Aku yakin dalam tiga hari, lukisan tersebut akan jadi.
***
Tiga hari kemudian.
Setelah bel berbunyi, aku langsung keluar kelas. Aku menghindari Kai
yang setiap hari terus mengajakku pergi.Namun, aku dicegah oleh Kai, Olive, dan
Ellen di depan pintu kelas saat semuanya sudah keluar.
“Lu kok udahga pernah deket sama kita?” Kai menatapku sinis nadanya
terdengar kesal.
“Aku udahga bisa hangoutsama
kalian.”
“Kenapa? Lu dimarahin?” tanya Ellen penasaran.
“Ga juga. Aku cuma mau fokus sama hobi aku aja.”
“Apaan? Melukis? Astaga... masa lu tega ninggalin kita demi itu.”
“Aku pulang dulu,” aku sudah kesal. Tidak ingin menjawab lagi. Aku
meninggalkan mereka bersama rasa penasaran mereka. Wajah mereka merah padam.
Ingin marah, namun mereka tidak bisa menahanku untuk pergi. Apapunbujuk rayu
yang mereka lontarkan, aku sudah bulat pada keputusanku. Aku gunakan masa-masa
ini untuk benar-benar menghasilkan sesuatu yang berguna dan membanggakan.
***
Pukul 17.34, sebelum matahari menghilang di bawah garis cakrawala di
sebelah barat. Aku tidak sendiri di sini. Aku ditemani merahnya langit. Swastamita,
keindahan yang tercipta sebagai bukti kuasa Yang Maha Kuasa.Goresan merah di
langit yang terlukis melalui kombinasi hamburan Rayleigh warna biru dan tingkat
kepadatan atmosfer bumi. Karya yang tak dapat disangkal keindahannya.
Duduk di bangku besi yang terletak di pinggir jalan. Menunggu kehadiran
seseorang sembari menatap keelokan langit, melihat ramainya jalan raya,
kendaraan yang terus membunyikan klakson seperti berlomba-lomba tiba di rumah
terlebih dahulu. Pukul 17.35 di mana semuaoraang kantoran menyudahi pekerjaan
dan kembali pada pelukan hangat keluarga. Hal yang memang seharusnya mereka untuk
menghilangkan rasa lelah. Tidak seperti aku, sejak aku sering diajak
jalan-jalan oleh teman-temanku, aku tidak punya waktu bersama keluarga. Aku
keluyuran dari pulang sekolah hingga malam. Tiba di rumah, aku sudah lelah dan
langsung membaringkan tubuhku di atas kasur. Aku telah kehilangan banyak kesempatan
untuk membuat momen tak terlupakan bersama keluarga.
Pukul 17.38, setelah menunggu beberapa menit, orang yang kutunggu telah
tiba. Orang yang membuat aku sadar siapa aku yang dahulu dan bagaimana aku yang
sekarang. Dia adalah anak kecil yang waktu itu duduk di sebelahku. Aku
mengajaknya bertemu hari ini, pukul 17.40, dan ia datang dua menit lebih cepat.
Tanganku yang sedari tadi menggenggam lukisan yang telah kubuat selama tiga
hari. Lukisan di atas kanvas berukuran 40 cm × 50 cm. Aku menyodorkan lukisan
itu kepada anak kecil itu.
Ia menatapku antara takjub dan binggung, “Woww... ini lukisan yang
indah. Lebih indah dari lukisan anak yang waktu itu aku ceritakan ke kakak.
Kenapa kakak tidak berikan pada galeri seni? Lukisan ini pasti ditampilkan
paling depan. Aku tidak menyangka kakak punya bakat melukis.”
Dia belum tahu bahwa anak yang waktu itu ia ceritakan adalah aku. Tetapi
aku senang, aku telah berhasil melampaui aku yang dahulu.
“Terima kasih. Ini buat kamu,” kataku sambil tersenyum menatap wajahnya.
Ia mengerutkan alisnya dan berkata, “Jangan, Kak. Ini bagus. Lebih baik
berikan pada galeri seni. Kakak pasti akan terkenal.”
“Enggak, ini buat kamu. Aku bisa membuat lagi,” aku membujuknya agar ia
mau menerima lukisan itu. Mataku terus menatap lukisanku. Aku tahu ia
menginginkannya, namun ia malu-malu.
“Tapi kakkk...”
“Gapapa, ambil aja. Nanti aku akan buat lagi dan akan kukirimkan ke
galeri seni.”
“Kakak janji?” ia memberikan jari kelingkingnya.
Aku membalasnya, tanda aku berjanji.
“Iya, kakak janji.”
Akhirnya ia menerima lukisanku. Wajahnya menampilkan kegembiraan, lebih
indah dari langit yang sedari tadi kupandang.
Pukul 17.49, ini pertama kalinya aku benar-benar menikmati senja, melihat
matahari terbenam di ufuk barat. Keindahan yang selama ini hanya aku lihat
sekilas tanpa pernah peduli. Pukul 17.49, biasanya aku selalu berada di dalam
gedung entah itu mall, karaoke, atau restoran. Aku telah menyia-nyiakan banyak
senja. Dan hari ini aku telah memandang kebahagiaan disertai keindahan. Aku
tidak menyesal tiga hariku hanya berada dalam kamar setelah pulang sekolah. Aku
senang melihat karyaku tidak hanya membuat diriku yang puas, namun juga orang lain.
Hari ini aku telah mengerti benar apa itu kebahagiaan yang sesungguhnya.
Aku telah mendapatkannya. Tidak semua kebahagiaan harus didapatkan dengan
mengikuti perkembangan zaman hingga sekalipun itu menjerumuskanmu dalam keburukan
kamu harus tetap mengikutinya. Kebahagiaan dapat kamu dapatkan melalui hal yang
sederhana. Menikmati apa yang kamu sukai dan membagikan kebahagiaan itu pada
orang lain. Ini aku yang sekarang, aku telah berubah. Tetap menjadi generasi
milenial, namun dengan keberadaan yang memberi dampak positif.Ini aku, seorang generasi
milenial yang membuktikan bahwa generasi ini bukan generasi biasa. Generasi
yang bisa memberi perubahan. Generasi yang tidak bisa terus dipandang buruk.
Generasi milenial bukan generasi biasa.
Menjadi
bagian dari kelompok yang hidup di zaman milenial bukan berarti harus menjadi
bagian dari keburukannya. Jadilah seperti yang seharusnya seorang penerus
bangsa lakukan. Berikan dampak positif. Sebarkan kebaikan. Jadi beda bukan
berarti ketinggalan zaman.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar