“hua...hua...hua...”
suara tangis itu memecah keheningan malam hari yang sunyi itu.
Suaranya menggema sampai masuk ke kamarku. Aku yang tengah tertidur
pulas pun terbangun. Kulirik jam di sebelahku. Pukul 02.00. aku
mengusap mata karena masih mengantuk. Suara tangis itu terdengar
lagi. Lebih keras dari yang sebelumnya. Aku segera beranjak dari
tempat tidurku, berjalan perlahan menuju kamar putri kecilku.
Kunyalakan lampu kamarnya, dan kulihat dia sedang duduk bersila di
atas kasurnya sampil menangis terisak-isak. “mommy, aku ngompol”
ucapnya di tengah isakannya. Aku hanya bisa menghela napas. Putriku
bernama Patricia Anderson, berumur 4 tahun, memiliki muka bundar,
dengan pipi yang menggemaskan. Rambut pirang keemasan dan mata biru
laut yang dapat membuat orang jatuh cinta padanya. Sambil tersenyum,
kugendong dia, kuusap-usap punggungnya. “sudah, tidak apa-apa,
sayang. Ayo, kita ganti celanamu”. Ia hanya mengangguk, menuruti
kata-kataku. Aku membawanya ke kamar mandi, lalu menyuruh nya
mengganti celananya, sementara aku membersihkan bekas ompolnya. Aku
mendapatinya tengah melihatku di pintu kamarnya. Ekspresi menyesal
jelas terlihat di wajahnya. Aku tersenyum “sudah selesai. Sana
tidur lagi” ujarku, berusaha membuat dia tersenyum. Namun senyum
itu tidak nampak di wajahnya. “maaf, bu” ujarnya. Aku kaget
mendengarnya. Lalu sambil tersenyum kupeluk dia dan kukatakan tidak
apa-apa. Senyum kecil mengembang di bibirnya. Ia melepas pelukanku,
lalu berkata “selamat malam, bu. Aku sayang ibu”. Aku tersenyum.
Ia naik ke atas kasurnya, bersiap untuk tidur. Aku menghampirinya,
mengecup keningnya dan berkata “selamat tidur, sayang. Ibu juga
sayang padamu” aku mematikan lampu, lalu keluar dari kamarnya,
membiarkannya terlelap di kamarnya. Aku menguap. Kulirik jam yang ada
di ruang tengah. 03.00. sudah jam 3 pagi. Aku segera masuk ke
kamarku, melanjutkan mimpi indahku.
Klontang...klontang...klontang...
Aku terbangun. Suara berisik di dapur membangunkanku. Kulirik jam di
sebelahku, kebiasaan yang melekat padaku sejak aku kecil. 06.00.
sudah pagi rupanya. Aku beranjak dari ranjang menuju ke arah
keributan itu. Putri kecil ku sudah berada di dapur, sibuk bergulat
dengan panci-panci, dan rantang-rantang, yang ukurannya hampir
menyamainya. “selamat pagi,bu” ujarnya sambil tersenyum. Senyum
yang selalu bisa mengembalikan semangatku. “selamat pagi, sayang.
Sedang membuat apa?” tanyaku. “sarapan!” ujarnya bersemangat,
dengan nada ceria yang sangat kusukai. “sarapan? Sini ibu bantu”
“tidak, tidak, tidak! Ibu tidak boleh ikut-ikut. Aku ingin
membuatnya sendiri. Spesial untuk inu. Tanda terimakasih karena ibu
sudah membantuku semalam” ujarnya melarangku. Apa boleh buat?
Akhirnya aku mengalah. Sambil tersenyum, aku berjalan ke arah meja
makan.
30 menit kemudian..
“sudah jadi, bu” ucapnya
bangga. Nasi goreng itu terlihat sangat tidak enak. Telur gosong,
bawang putih yang tidak dipotong, ayam yang masih mentah, nasinya pun
warnanya tidak keruan. “ini masakannya?” tanyaku. Dia mengangguk
dengan semangat. “cicipi, bu. Cicipi!” ujarnya bersemangat. Aku
tersenyum, membayangkan bagaimana rasanya. “baiklah, ini dia” aku
mengambil sesendok nasi, lalu menyuapkannya ke mulutku. Ternyata
rasanya tidak seburuk yang kukira. Bisa dibilang enak, malahan.
Yah... cukup baik untuk anak seusianya. Ia menatapku tegang, sambil
melihatku mencicipi masakannya. “enak?” tanyanya ragu-ragu.
“enak!” jawabku mantap. Sinar kelegaan terpancar jelas di
matanya. “ayo, bu. Aku harus segera berangkat ke sekolah”
ucapnya. Ia memperlihatkan sederetan gigi putih bersih miliknya. Aku
tersenyum melihatnya. “Baiklah, ayo berangkat!”
Sepulangnya dari mengantar
Patricia, aku melihat nasi goreng buatan putriku. Yah... walau
dibilang rasanya enak pun, pasti tidak akan ada yang percaya. Akhinya
aku mengambil keputusan untuk membuat ulang masakan putriku.
Menambahi beberapa bumbu, membuang telurnya, merajang bawang
putihnya, dan menambahi saus nya. Akhirnya, penampilannya pun
berubah. Terlihat sangat menggiurkan. Aku hanya tersenyum, menaruhnya
di meja makan, melepas celemekku, dan pergi mandi. Aku melanjutkan
aktivitasku seperti biasa. “sebentar lagi Patricia akan pulang
sekolah” ujarku. Tiba-tiba.. “Mom!! nasi goreng buatan siapa
ini?” terdengar teriakan dari ruang makan. Oh iya! Nasi goreng itu.
Aku hampir saja melupakannya kalu dad tidak mengingatkanku. “makan
saja, dad!! buatan Patricia” seruku. Lalu aku pergi menjemput
Patricia di sekolah.
Sesampainya di rumah, ia
langsung berlari ke meja makan. “mom!! mana nasi gorengku?”
tahu-tahu dia sudah berada di ambang pintu depan. “entahlah,
sayang. Mungkin dad yang menghabiskannya” ujarku walau aku yakin
bahwa ayahnyalah yang menghabiskannya. “dia suka?” matanya
berbinar-binar. “dia sangat suka! Katanya masakanmu enak sekali!”
ujarku bersemangat. Senyum manis tersungging di bibirnya. Seketika,
ia berlari masuk ke dalam rumah. “Dad! Dad! Dad! Kau makan nasi
gorengku tadi pagi?” tanyanya langsung. “nasi goreng? Oh! Ya. Ya,
aku memakannya” “bagaimana rasanya?” tanyanya penuh semangat.
“Fantastis!!” jawab ayahnya. Membuat senyumnya semakin melebar. Ia tidak tahu kalau ibunya sudah memperbaiki rasa masakannya.
Ia berlarian ke sekeliling
rumah, memberitahu setiap orang yang ditemuinya bahwa ayahnya
menyukai masakannya. Ia bahkan memberi tahuku 2 kali. Aku hanya bisa
tersenyum melihatnya. Entah karena memang mengantuk atau terlalu
lelah sehabis berlarian di sekeliling rumah, aku menemukannya
tertidur di sofa ruang tamu. Wajahnya sangat polos dan menggemaskan,
membuatku ingin mencubit pipinya. Tentu saja, aku tidak melakukannya
karena dapat membangunkannya. Aku menghela napas,
menggeleng-gelengkan kepala, dan menggendongnya, menidurkannya di
kamarnya.
Sekarang, dia sudah besar. Ia bukan lagi gadis kecil imut menggemaskan yang pernah kukenal. Tubuhnya tinggi semampai, dan langsing seperti model. Rambut pirangnya tergerai di punggung. Wajahnya cantik memesona. Namun, ia tetap gadis yang periang, ramah, dan ekspresif. Ia sering membuatku tertawa, menyemangatiku dikala aku sedang bersedih. Ia bahkan sering menggodaku. Ia masih tetap sering memasak di rumah. Sekarang, masakannya benar-benar lezat. Cita-citanya memang menjadi koki. Betapa bangganya aku padanya.
Oleh : Cherish Ravella K
Sekarang, dia sudah besar. Ia bukan lagi gadis kecil imut menggemaskan yang pernah kukenal. Tubuhnya tinggi semampai, dan langsing seperti model. Rambut pirangnya tergerai di punggung. Wajahnya cantik memesona. Namun, ia tetap gadis yang periang, ramah, dan ekspresif. Ia sering membuatku tertawa, menyemangatiku dikala aku sedang bersedih. Ia bahkan sering menggodaku. Ia masih tetap sering memasak di rumah. Sekarang, masakannya benar-benar lezat. Cita-citanya memang menjadi koki. Betapa bangganya aku padanya.
Oleh : Cherish Ravella K
Tidak ada komentar:
Posting Komentar