Kamis, 22 Oktober 2015

SweetHeart

“hua...hua...hua...” suara tangis itu memecah keheningan malam hari yang sunyi itu. Suaranya menggema sampai masuk ke kamarku. Aku yang tengah tertidur pulas pun terbangun. Kulirik jam di sebelahku. Pukul 02.00. aku mengusap mata karena masih mengantuk. Suara tangis itu terdengar lagi. Lebih keras dari yang sebelumnya. Aku segera beranjak dari tempat tidurku, berjalan perlahan menuju kamar putri kecilku. Kunyalakan lampu kamarnya, dan kulihat dia sedang duduk bersila di atas kasurnya sampil menangis terisak-isak. “mommy, aku ngompol” ucapnya di tengah isakannya. Aku hanya bisa menghela napas. Putriku bernama Patricia Anderson, berumur 4 tahun, memiliki muka bundar, dengan pipi yang menggemaskan. Rambut pirang keemasan dan mata biru laut yang dapat membuat orang jatuh cinta padanya. Sambil tersenyum, kugendong dia, kuusap-usap punggungnya. “sudah, tidak apa-apa, sayang. Ayo, kita ganti celanamu”. Ia hanya mengangguk, menuruti kata-kataku. Aku membawanya ke kamar mandi, lalu menyuruh nya mengganti celananya, sementara aku membersihkan bekas ompolnya. Aku mendapatinya tengah melihatku di pintu kamarnya. Ekspresi menyesal jelas terlihat di wajahnya. Aku tersenyum “sudah selesai. Sana tidur lagi” ujarku, berusaha membuat dia tersenyum. Namun senyum itu tidak nampak di wajahnya. “maaf, bu” ujarnya. Aku kaget mendengarnya. Lalu sambil tersenyum kupeluk dia dan kukatakan tidak apa-apa. Senyum kecil mengembang di bibirnya. Ia melepas pelukanku, lalu berkata “selamat malam, bu. Aku sayang ibu”. Aku tersenyum. Ia naik ke atas kasurnya, bersiap untuk tidur. Aku menghampirinya, mengecup keningnya dan berkata “selamat tidur, sayang. Ibu juga sayang padamu” aku mematikan lampu, lalu keluar dari kamarnya, membiarkannya terlelap di kamarnya. Aku menguap. Kulirik jam yang ada di ruang tengah. 03.00. sudah jam 3 pagi. Aku segera masuk ke kamarku, melanjutkan mimpi indahku.

Klontang...klontang...klontang... Aku terbangun. Suara berisik di dapur membangunkanku. Kulirik jam di sebelahku, kebiasaan yang melekat padaku sejak aku kecil. 06.00. sudah pagi rupanya. Aku beranjak dari ranjang menuju ke arah keributan itu. Putri kecil ku sudah berada di dapur, sibuk bergulat dengan panci-panci, dan rantang-rantang, yang ukurannya hampir menyamainya. “selamat pagi,bu” ujarnya sambil tersenyum. Senyum yang selalu bisa mengembalikan semangatku. “selamat pagi, sayang. Sedang membuat apa?” tanyaku. “sarapan!” ujarnya bersemangat, dengan nada ceria yang sangat kusukai. “sarapan? Sini ibu bantu” “tidak, tidak, tidak! Ibu tidak boleh ikut-ikut. Aku ingin membuatnya sendiri. Spesial untuk inu. Tanda terimakasih karena ibu sudah membantuku semalam” ujarnya melarangku. Apa boleh buat? Akhirnya aku mengalah. Sambil tersenyum, aku berjalan ke arah meja makan.

30 menit kemudian..

“sudah jadi, bu” ucapnya bangga. Nasi goreng itu terlihat sangat tidak enak. Telur gosong, bawang putih yang tidak dipotong, ayam yang masih mentah, nasinya pun warnanya tidak keruan. “ini masakannya?” tanyaku. Dia mengangguk dengan semangat. “cicipi, bu. Cicipi!” ujarnya bersemangat. Aku tersenyum, membayangkan bagaimana rasanya. “baiklah, ini dia” aku mengambil sesendok nasi, lalu menyuapkannya ke mulutku. Ternyata rasanya tidak seburuk yang kukira. Bisa dibilang enak, malahan. Yah... cukup baik untuk anak seusianya. Ia menatapku tegang, sambil melihatku mencicipi masakannya. “enak?” tanyanya ragu-ragu. “enak!” jawabku mantap. Sinar kelegaan terpancar jelas di matanya. “ayo, bu. Aku harus segera berangkat ke sekolah” ucapnya. Ia memperlihatkan sederetan gigi putih bersih miliknya. Aku tersenyum melihatnya. “Baiklah, ayo berangkat!”

Sepulangnya dari mengantar Patricia, aku melihat nasi goreng buatan putriku. Yah... walau dibilang rasanya enak pun, pasti tidak akan ada yang percaya. Akhinya aku mengambil keputusan untuk membuat ulang masakan putriku. Menambahi beberapa bumbu, membuang telurnya, merajang bawang putihnya, dan menambahi saus nya. Akhirnya, penampilannya pun berubah. Terlihat sangat menggiurkan. Aku hanya tersenyum, menaruhnya di meja makan, melepas celemekku, dan pergi mandi. Aku melanjutkan aktivitasku seperti biasa. “sebentar lagi Patricia akan pulang sekolah” ujarku. Tiba-tiba.. “Mom!! nasi goreng buatan siapa ini?” terdengar teriakan dari ruang makan. Oh iya! Nasi goreng itu. Aku hampir saja melupakannya kalu dad tidak mengingatkanku. “makan saja, dad!! buatan Patricia” seruku. Lalu aku pergi menjemput Patricia di sekolah.

Sesampainya di rumah, ia langsung berlari ke meja makan. “mom!! mana nasi gorengku?” tahu-tahu dia sudah berada di ambang pintu depan. “entahlah, sayang. Mungkin dad yang menghabiskannya” ujarku walau aku yakin bahwa ayahnyalah yang menghabiskannya. “dia suka?” matanya berbinar-binar. “dia sangat suka! Katanya masakanmu enak sekali!” ujarku bersemangat. Senyum manis tersungging di bibirnya. Seketika, ia berlari masuk ke dalam rumah. “Dad! Dad! Dad! Kau makan nasi gorengku tadi pagi?” tanyanya langsung. “nasi goreng? Oh! Ya. Ya, aku memakannya” “bagaimana rasanya?” tanyanya penuh semangat. “Fantastis!!” jawab ayahnya. Membuat senyumnya semakin melebar. Ia tidak tahu kalau ibunya sudah memperbaiki rasa masakannya.

Ia berlarian ke sekeliling rumah, memberitahu setiap orang yang ditemuinya bahwa ayahnya menyukai masakannya. Ia bahkan memberi tahuku 2 kali. Aku hanya bisa tersenyum melihatnya. Entah karena memang mengantuk atau terlalu lelah sehabis berlarian di sekeliling rumah, aku menemukannya tertidur di sofa ruang tamu. Wajahnya sangat polos dan menggemaskan, membuatku ingin mencubit pipinya. Tentu saja, aku tidak melakukannya karena dapat membangunkannya. Aku menghela napas, menggeleng-gelengkan kepala, dan menggendongnya, menidurkannya di kamarnya.

Sekarang, dia sudah besar. Ia bukan lagi gadis kecil imut menggemaskan yang pernah kukenal. Tubuhnya tinggi semampai, dan langsing seperti model. Rambut pirangnya tergerai di punggung. Wajahnya cantik memesona. Namun, ia tetap gadis yang periang, ramah, dan ekspresif. Ia sering membuatku tertawa, menyemangatiku dikala aku sedang bersedih. Ia bahkan sering menggodaku. Ia masih tetap sering memasak di rumah. Sekarang, masakannya benar-benar lezat. Cita-citanya memang menjadi koki. Betapa bangganya aku padanya.



Oleh : Cherish Ravella K

Tidak ada komentar:

Posting Komentar