Kamis, 07 April 2011

PENGALAMAN PERTAMA JADI PROTOKOL UPACARA WALIKOTA

Senin, 21 Maret lalu adalah awal karirku sebagai protokol upacara bendera . Dan saat itu pula aku menyadari ternyata, menjadi protokol upacara itu bukanlah hal yang mudah apalagi dengan diperhatikan oleh lebih dari 700 pasang mata dan membawa beban nama baik sekolah. Benar – benar tanggung jawab yang berat. Meski berusaha mati – matian menenangkan jantungku, aku tetap tak bisa benar – benar mengendalikannya.
Tugas ini menghampiriku saat aku tengah mengikuti pelajaran Bahasa Inggris hari Jumat, 11 Maret 2011. Saat itu, sekitar pukul 06.55 (pelajarannya baru dimulai sekitar 10 menit), suara lembut guru Bahasa Inggrisku dipecah oleh alunan nada dari speaker yang menandakan bahwa akan dibacakan sebuah pengumuman. Pelajaran pun terhenti dan semua murid menengadahkan kepala untuk mendengar dengan jelas pengumuman dari speaker di pojok kanan atas kelas. Aku sendiri bertanya – tanya akan ada pengumuman apa. Jarang juga pengumuman diumumkan di pagi hari - saat kegiatan belajar mengajar akan dimulai.
Saat itu, di tengah keheningan, kudengar dengan jelas suara Ibu Wiwik, guru Biologi kelas IX, menyuruh sekitar 30-an siswa kelas VII hingga IX untuk menemui Ibu Titis, guru olahragaku, di lapangan basket SMA TNH. Dengan raut sedikit heran, aku minta izin pada guruku dan meninggalkan kelas bersama beberapa siswa dari kelasku. Sesampainya aku di sana, Bu Titis mengatakan pada kami semua bahwa kami telah terpilih menjadi petugas upacara bendera dalam rangka pembinaan ujian nasional untuk siswa kelas IX yang diselenggarakan 21 Maret 2011 di lapangan tempatku menginjakkan kaki saat ini.
Aku menghela napas. Saat itu, aku berpikir aku pasti menjadi pembaca Pembukaan UUD 1945, seperti biasa saat kelasku terpilih menjadi petugas upacara bendera setiap Senin. Aku berpikir bahwa ini adalah hal yang tak terlalu sukar karena aku telah terbiasa melakukannya. Jadi, saat Bu Titis mengatakan aku akan menjadi protokol upacara, aku kaget sekali. Tak kusangka akan dipilih menjadi protokol upacara mengingat aku tak pernah melakukannya sebelumnya.
Tak dapat berbuat apa – apa, aku meraih teks susunan acara dan mencoba mempelajarinya. Mengalir dalam ingatanku, cara protokol – protokol yang biasanya bertugas saat upacara hari Senin. Aku mencoba menirukan tapi aku merasa itu bukan cara yang tepat untuk upacara sekelas upacara yang dihadiri Walikota Mojokerto ini. Aku mencoba menghampiri Bu Titis dan bertanya pada beliau siapa yang akan mengajariku membacakan acara – acara ini. Tapi, kulihat beliau tengah melatih siswa - soswa kelas 7A berolahraga. Kuurungkan niatku dan aku memutuskan untuk menunggu perkembangan selanjutnya.
Di kiriku, tampak petugas pengibar bendera berlatih. Di kananku, paduan suara melantunkan lagu kebangsaan Indonesia. Semuanya berlatih lantas mengapa aku tidak? batinku heran. Waktu berlalu dengan cepat. Tak terasa sudah pukul 08.00. Sebentar lagi akan ada pelajaran Geografi dan aku tidak suka melewatnkannya karena gurunya selalu mengeluarkan apa yang diterangkannya di depan kelas dalam ulangan. Parahya lagi, biasanya materi – materi itu tak ada di buku paketku. Lelah karena perkembangan yang tak jelas, aku pun kembali ke kelas.
Untung pelajarannya belum dimulai jadi aku bisa mempersiapkan diri dulu. Di tengah – tengah pelajaran salah seorang temanku – petugas upacara pula, sepertiku- mengatakan bahwa aku disuruh untuk ikut kembali latihan upacara tadi. Aku mengikutinya dan berjanji dalam hati jika aku tidak disuruh latihan, aku akan kembali ke kelas saja. Pada kenyataannya, aku memang berlatih tapi aku hanya disuruh membacakan susunan acara itu saja. Tanpa diberi tahu bagaimana cara yang benar membacanya.
Latihannya berakhir sekitar pukul 09.30. Dan sisa hariku di sekolah kuhabiskan dengan mengikuti pelajaran. Hari Sabtu dan Minggu tak ada latihan karena itu merupakan hari libur di sekolahku. Senin sampai Kamis depannya, Ulangan Tengah Semester 2 dilangsungkan jadi tak ada latihan sama sekali. Pada hari Jumatnya, diadakan latihan yang dihadiri oleh petugas dinas untuk mengecek kesiapan pihak SMP TNH dalam melaksanakan upacara ini. Dan beberapa menit menjelang gladi kotor upacara itu, aku diberitahu cara yang benar untuk membaca susunan acara dalam upacara bendera.
Ternyata, aku harus membuat suaraku menjadi lebih besar tapi tetap ringan dan berintonasi. Memendam rasa malu, aku pun berlatih sebisa mungkin. Dengan sabar, Pak Jaka, guru bahasa Indonesia kelas 7, mengajariku cara membaca yang benar. Acara gladi kotor ini tak terlalu berat karena sepertinya aku sudah cukup menguasai cara membacanya.
Keesokan harinya, juga diadakan latihan lagi. Aku merasa semakin menguasai cara membaca susunan acara ini.
Hari H-nya pun tiba juga. Aku merasa deg – degan. Aku takut jika nanti salah ucap atau melakukan kesalahan memalukan lainnya. Beberapa menit menjelang acara, pihak dinas mengetesku. Setelah dites, mereka mengatakan nadaku kurang tinggi. Aku berusaha sekuat tenaga untuk merubahnya. Untungnya, pihak dinas menempatkan seseorang untuk membantuku mengucapkan susunan acara dengan tepat. Aku pun cukup berhasil melakukannya meski masih ada beberapa yang nadanya kurang tinggi. Mungkin karena kebiasaan, ya?
Bagaimanapun hasilnya aku lega karena ini semua telah terlalui. Soal apakah aku akan tetap menjadi protokol saat upacara bendera itu tergantung kondisi. Jika memang tak ada yang mau, ya, aku akan melakukannya. Tapi jika tidak terjadi hal itu, aku lebih memilih menjadi pembaca Pembukaan UUD 1945 saja. Karena lebih mudah dan rasa deg – degannya lebih cepat berakir karena aku hanya perlu tampil satu kali dan sudah demua tugas terlaksana. Sementara jika aku menjadi protokol tentu rasa deg – degan itu akan terus menguntitku hingga upacara berakhir karena protokol, kan, memang bertugas hingga upacara selesai. Hahahahaha..... (by Rani 8a)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar