Sekarang
aku sedang di halte bus. Aku baru saja selesai interview untuk
bekerja di PT. Kreasi Advertising. Aku di sini bukan karena aku
sedang menunggu bus, aku tidak punya uang sama sekali untuk naik
angkutan apapun. Aku di sini karena menunggu hujan reda, sehingga aku
bisa pulang tanpa basah kuyup.
Namun hujan
tak kunjung reda, malah semakin deras. Ada sesuatu yang bergetar di
saku celana jins-ku, HP-ku. Aku segera mengeluarkannya dari saku,
ternyata telepon dari adikku, Gina. “Kak Mikha! Cepat pulang dong!
Gina laper nih!!” teriak Gina, mengalahkan suara hujan deras di
sekelilingku, tapi telingaku jadi sedikit sakit karenanya.
Aku
mengecek arlojiku, ternyata sudah pukul setengah tiga. Jelas saja
Gina marah-marah, perutku sendiri juga keroncongan. Setelah
menjelaskan pada Gina, aku menutup telepon itu. Aku merasakan perutku
sakit, maag-ku
kambuh. Oh, Tuha, kenapa harus sekarang?
Aku
terpaksa terus menunggu, ketika hujan semakin lama semakin deras dan
perutku terasa semakin sakit. Sekarang waktu sudah menunjukkan pukul
tiga. Hujannya deras sekali, aku hampir tidak bisa melihat jalan, dan
aku duduk sendirian di halte bus, tidak ada bus yang lewat. Kalaupun
ada, aku tidak bisa menaikinya. Aku tidak punya uang.
Perutku
semakin sakit saja, dan aku semakin tidak tahan. Tuhan, bagaimana
ini? Aku tidak membawa obat maag-ku,
dan aku tak mungkin pulang di tengah hujan sederas ini. Perutku
semakin lama semakin sakit, aku sudah tak tahan lagi, dan.....
***
Aku melihat ke
sekelilingku. Aku sudah tidak di halte bus lagi, melainkan di dalam
sebuah rumah mewah yang sama sekali tak kukenal. Aku terbaring di
sofa, dan perutku masih sakit sekali. Kulihat seorang pria duduk di
kursi berlengan di sebelah sofa tempat aku terbaring. Laki-laki itu
tampak tak asing, tapi aku sama sekali tak mengenalnya.
“Kau tak
apa-apa?” tanya pria yang tampaknya 2 tahun lebih tua dariku itu.
“Apa yang terjadi?” tanyaku. Pria itu tersenyum, lalu menjawab,
“Kau pingsan di halte, jadi aku membawamu ke sini, ke rumahku. Apa
kau sakit?” Aku bingung. Pertama kalinya aku pingsan hanya karena
maag-ku. “Tidak, hanya
maag-ku yang kambuh,”
jawabku sambil merintih pelan. Pria itu tersenyum lagi. “Kau mau
makan?” tanyanya. Aku sontak kaget dengan tawarannya itu. Aku saja
tak mengenalnya, tapi dia menawariku makanan?
“Eh?
Tak usah,” kataku setelah diam beberapa saat. Pria itu tersenyum,
dan senyuman itu mengingatkanku pada seseorang. Andrew, mantan
pacarku ketika kami SMA dulu. Kami memang hanya pacaran selama 5
bulan, karena ketika aku masuk SMA dia sudah di tahun terakhirnya di
SMA itu. Tapi, aku masih tak bisa melupakan kenangan indah
bersamanya, bahkan aku tidak membuka hatiku bagi orang lain.
“Kau
yakin? Kau tampak pucat sekali. Atau kau mau obat maag
saja?” tanyanya, membuat lamunanku tentang Andrew buyar begitu
saja. “Tak perlu, aku ingin pulang saja. Apakah hujannya sudah
reda?” tanyaku seraya mengecek arloji. Sudah pukul enam. Oh, tidak,
Gina pasti marah-marah karena aku tidak memberinya makan siang!
Akhirnya
aku berdiri, lalu mengucapkan selamat tinggal dan terima kasih. Tapi,
ketika aku sudah melangkah menuju pintu rumah itu, pria itu
memanggil. “Mikha,” panggilnya pelan. Aku heran, tentu. Aku sama
sekali tak mengenalnya. Bagaimana mungkin pria itu tahu namaku,
sedangkan aku belum menyebutkan namaku dan kartu identitasku
tertinggal di rumah? Aku juga bukan orang terkenal, yang tak mungkin
dikenal oleh orang yang tampaknya sangat kaya ini.
Masih
dalam kebingungan, aku memberanikan diri bertanya, “Bagaimana kau
bisa tahu namaku?” Pria itu hanya tersenyum, semakin mengingatkanku
pada Andrew, yang dulu mengkhi`natiku dengan berjalan-jalan dan
berpelukan mesra bersama sahabatku, Rita. Tak baik memikirkan itu
lagi, pikirku. Aku memandang ke arah wajah pria itu, yang masih
tersenyum, mirip sekali dengan Andrew.
“Kupikir
kau sudah menyadarinya,” kata pra itu tiba-tiba, memecahkan
keheningan selama sekian detik ketika aku mengenang saat-saat paling
menyedihkan itu. Dia tersenyum lagi. Hatiku semakin sakit rasanya,
mengalahkan sakit perutku. Apa jangan-jangan, ini Andrew?
Aku
memalingkan wajahku darinya, tak ingin melihat senyumannya lagi. Aku
mengucapkan selamat tinggal dan bergegas melewati pintu yang sudah di
hadapanku ini. Tapi, sebelum aku mencapai pagar depannya, pria itu
berhasil mengejarku. Aku tak mau melihat wajahnya menampakkan senyum
itu lagi, jadi aku malah melihat ke atas, ke sebuah papan putih
dengan tulisan berhuruf kapital besar-besar, supaya bisa dibaca dari
jauh.
DR.
ANDREW KARAWIYA (DOKTER PENYAKIT DALAM)
Begitulah
tulisan itu berbunyi. Jadi benar, ini Andrew, mantan pacarku dulu.
Tapi, nampaknya dia tinggal sendiri di rumah itu. Jadi dia tidak
menikah dengan Rita? Atau, mereka masih menyiapkan segalanya? Hatiku
terasa hancur, seakan kejadian hari itu telah teulang kembali.
Tapi,
seakan membaca pikiranku, Andrew berkata, “Aku putus dengan Rita
sejak masuk kuliah, aku menyadari, hubungan 5 bulan kita itu telah
menimbulkan perasaan yang dalam di antara kita.” aku menatapnya
sekarang. Apakah ini semua kejujuran? Atau hanya bohong belaka? Agar
dia bisa masuk lagi ke kehidupanku dan menghancurkan hatiku lagi?
***
Rasanya
kejadian itu baru kemarin. Tapi itulah yang terjadi 20 tahun yang
lalu. Sekarang aku duduk di dalam sebuah rumah mewah tempat aku
bertemu kembali dengan Andrew, rumah Andrew. Ya, kami menikah, dan
anak perempuan kami telah berusia 19 tahun sekarang, tengah merasakan
apa yang kurasakan saat aku berusia 16 tahun, pada saat hatiku hancur
berkeping-keping melihat Andrew bwersama Rita. Tapi, kejadian 20
tahun lalu yang kuceritakan padanya, membuatnya bahagia, dan bertekad
tak mau mengalami hal yang sama sepertiku.
(Melisa 8A)