Kamis, 03 Mei 2012

CERITA CINTA KITA

Sekarang aku sedang di halte bus. Aku baru saja selesai interview untuk bekerja di PT. Kreasi Advertising. Aku di sini bukan karena aku sedang menunggu bus, aku tidak punya uang sama sekali untuk naik angkutan apapun. Aku di sini karena menunggu hujan reda, sehingga aku bisa pulang tanpa basah kuyup.

Namun hujan tak kunjung reda, malah semakin deras. Ada sesuatu yang bergetar di saku celana jins-ku, HP-ku. Aku segera mengeluarkannya dari saku, ternyata telepon dari adikku, Gina. “Kak Mikha! Cepat pulang dong! Gina laper nih!!” teriak Gina, mengalahkan suara hujan deras di sekelilingku, tapi telingaku jadi sedikit sakit karenanya.

Aku mengecek arlojiku, ternyata sudah pukul setengah tiga. Jelas saja Gina marah-marah, perutku sendiri juga keroncongan. Setelah menjelaskan pada Gina, aku menutup telepon itu. Aku merasakan perutku sakit, maag-ku kambuh. Oh, Tuha, kenapa harus sekarang?

Aku terpaksa terus menunggu, ketika hujan semakin lama semakin deras dan perutku terasa semakin sakit. Sekarang waktu sudah menunjukkan pukul tiga. Hujannya deras sekali, aku hampir tidak bisa melihat jalan, dan aku duduk sendirian di halte bus, tidak ada bus yang lewat. Kalaupun ada, aku tidak bisa menaikinya. Aku tidak punya uang.
Perutku semakin sakit saja, dan aku semakin tidak tahan. Tuhan, bagaimana ini? Aku tidak membawa obat maag-ku, dan aku tak mungkin pulang di tengah hujan sederas ini. Perutku semakin lama semakin sakit, aku sudah tak tahan lagi, dan.....
***
Aku melihat ke sekelilingku. Aku sudah tidak di halte bus lagi, melainkan di dalam sebuah rumah mewah yang sama sekali tak kukenal. Aku terbaring di sofa, dan perutku masih sakit sekali. Kulihat seorang pria duduk di kursi berlengan di sebelah sofa tempat aku terbaring. Laki-laki itu tampak tak asing, tapi aku sama sekali tak mengenalnya.

“Kau tak apa-apa?” tanya pria yang tampaknya 2 tahun lebih tua dariku itu. “Apa yang terjadi?” tanyaku. Pria itu tersenyum, lalu menjawab, “Kau pingsan di halte, jadi aku membawamu ke sini, ke rumahku. Apa kau sakit?” Aku bingung. Pertama kalinya aku pingsan hanya karena maag-ku. “Tidak, hanya maag-ku yang kambuh,” jawabku sambil merintih pelan. Pria itu tersenyum lagi. “Kau mau makan?” tanyanya. Aku sontak kaget dengan tawarannya itu. Aku saja tak mengenalnya, tapi dia menawariku makanan?
“Eh? Tak usah,” kataku setelah diam beberapa saat. Pria itu tersenyum, dan senyuman itu mengingatkanku pada seseorang. Andrew, mantan pacarku ketika kami SMA dulu. Kami memang hanya pacaran selama 5 bulan, karena ketika aku masuk SMA dia sudah di tahun terakhirnya di SMA itu. Tapi, aku masih tak bisa melupakan kenangan indah bersamanya, bahkan aku tidak membuka hatiku bagi orang lain.

“Kau yakin? Kau tampak pucat sekali. Atau kau mau obat maag saja?” tanyanya, membuat lamunanku tentang Andrew buyar begitu saja. “Tak perlu, aku ingin pulang saja. Apakah hujannya sudah reda?” tanyaku seraya mengecek arloji. Sudah pukul enam. Oh, tidak, Gina pasti marah-marah karena aku tidak memberinya makan siang!
Akhirnya aku berdiri, lalu mengucapkan selamat tinggal dan terima kasih. Tapi, ketika aku sudah melangkah menuju pintu rumah itu, pria itu memanggil. “Mikha,” panggilnya pelan. Aku heran, tentu. Aku sama sekali tak mengenalnya. Bagaimana mungkin pria itu tahu namaku, sedangkan aku belum menyebutkan namaku dan kartu identitasku tertinggal di rumah? Aku juga bukan orang terkenal, yang tak mungkin dikenal oleh orang yang tampaknya sangat kaya ini.

Masih dalam kebingungan, aku memberanikan diri bertanya, “Bagaimana kau bisa tahu namaku?” Pria itu hanya tersenyum, semakin mengingatkanku pada Andrew, yang dulu mengkhi`natiku dengan berjalan-jalan dan berpelukan mesra bersama sahabatku, Rita. Tak baik memikirkan itu lagi, pikirku. Aku memandang ke arah wajah pria itu, yang masih tersenyum, mirip sekali dengan Andrew.
“Kupikir kau sudah menyadarinya,” kata pra itu tiba-tiba, memecahkan keheningan selama sekian detik ketika aku mengenang saat-saat paling menyedihkan itu. Dia tersenyum lagi. Hatiku semakin sakit rasanya, mengalahkan sakit perutku. Apa jangan-jangan, ini Andrew?
Aku memalingkan wajahku darinya, tak ingin melihat senyumannya lagi. Aku mengucapkan selamat tinggal dan bergegas melewati pintu yang sudah di hadapanku ini. Tapi, sebelum aku mencapai pagar depannya, pria itu berhasil mengejarku. Aku tak mau melihat wajahnya menampakkan senyum itu lagi, jadi aku malah melihat ke atas, ke sebuah papan putih dengan tulisan berhuruf kapital besar-besar, supaya bisa dibaca dari jauh.

DR. ANDREW KARAWIYA (DOKTER PENYAKIT DALAM)

Begitulah tulisan itu berbunyi. Jadi benar, ini Andrew, mantan pacarku dulu. Tapi, nampaknya dia tinggal sendiri di rumah itu. Jadi dia tidak menikah dengan Rita? Atau, mereka masih menyiapkan segalanya? Hatiku terasa hancur, seakan kejadian hari itu telah teulang kembali.
Tapi, seakan membaca pikiranku, Andrew berkata, “Aku putus dengan Rita sejak masuk kuliah, aku menyadari, hubungan 5 bulan kita itu telah menimbulkan perasaan yang dalam di antara kita.” aku menatapnya sekarang. Apakah ini semua kejujuran? Atau hanya bohong belaka? Agar dia bisa masuk lagi ke kehidupanku dan menghancurkan hatiku lagi?
***
Rasanya kejadian itu baru kemarin. Tapi itulah yang terjadi 20 tahun yang lalu. Sekarang aku duduk di dalam sebuah rumah mewah tempat aku bertemu kembali dengan Andrew, rumah Andrew. Ya, kami menikah, dan anak perempuan kami telah berusia 19 tahun sekarang, tengah merasakan apa yang kurasakan saat aku berusia 16 tahun, pada saat hatiku hancur berkeping-keping melihat Andrew bwersama Rita. Tapi, kejadian 20 tahun lalu yang kuceritakan padanya, membuatnya bahagia, dan bertekad tak mau mengalami hal yang sama sepertiku.

(Melisa 8A)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar