Misa Rabu Abu tahun ini sebagai pembuka masa Pra-Paskah
diselenggarakan secara serentak oleh Gereja Katolik di seluruh penjuru
dunia pada Rabu, 9 Maret 2011. Rabu Abu, merupakan permulaan Masa
Pra-Paskah, masa pertobatan, pemeriksaan batin dan berpantang guna
mempersiapkan diri untuk Kebangkitan Kristus dan Penebusan dosa.
Pada Rabu Abu kita menerima abu di kening kita, karena sejak lama,
bahkan berabad-abad sebelum Kristus, abu telah menjadi tanda tobat.
Penggunaan abu dalam liturgi berasal dari jaman Perjanjian Lama. Abu
melambangkan perkabungan, ketidak-abadian, dan sesal/tobat. Sebagai
contoh, dalam Buku Ester, Mordekhai mengenakan kain kabung dan abu
ketika ia mendengar perintah Raja Ahasyweros dari Persia untuk membunuh
semua orang Yahudi dalam kerajaan Persia. Ayub menyatakan sesalnya
dengan duduk dalam debu dan abu. Dalam nubuatnya tentang penawanan
Yerusalem ke Babel, Daniel menulis, “Lalu aku mengarahkan mukaku kepada
Tuhan Allah untuk berdoa dan bermohon, sambil berpuasa dan mengenakan
kain kabung serta abu.” (Dan 9:3). Di abad kelima SM, sesudah Yunus
menyerukan agar orang berbalik kepada Tuhan dan bertobat, kota Niniwe
memaklumkan puasa dan mengenakan kain kabung, dan raja menyelubungi diri
dengan kain kabung lalu duduk di atas abu.
Contoh-contoh dari Perjanjian Lama di atas merupakan bukti atas
praktek penggunaan abu dan pengertian akan makna yang dilambangkannya.
Yesus sendiri juga menyinggung soal penggunaan abu: kepada kota-kota
yang menolak untuk bertobat dari dosa-dosa mereka meskipun mereka telah
menyaksikan mukjizat-mukjizat dan mendengar kabar gembira, Kristus
berkata, “Seandainya mukjizat-mukjizat yang telah terjadi di
tengah-tengahmu terjadi di Tirus dan Sidon, maka sudah lama orang-orang
di situ bertobat dengan memakai pakaian kabung dan abu.” (Mat 11:21)
Jaman dahulu orang-orang Kristen yang melakukan dosa berat diwajibkan
untuk menyatakan tobat mereka di hadapan umum. Pada Hari Rabu Abu,
Uskup memberkati baju kasar yang harus mereka kenakan selama empat puluh
hari serta menaburi mereka dengan abu. Kemudian sementara umat
mendaraskan Tujuh Mazmur Tobat, orang-orang yang berdosa berat itu
diusir dari gereja. Mereka tidak diperkenankan masuk gereja hingga
mereka memperoleh rekonsiliasi dengan bertobat sungguh-sungguh selama
empat puluh hari dan menerima Sakramen Pengakuan Dosa. Sesudah itu semua
umat, baik umum maupun mereka yang baru saja memperoleh rekonsiliasi,
bersama-sama mengikuti Misa untuk menerima abu.
Bapa Pius Parsch, dalam bukunya “The Church’s Year of Grace”
menyatakan bahwa “Rabu Abu Pertama” terjadi di Taman Eden setelah Adam
dan Hawa berbuat dosa. Tuhan mengingatkan mereka bahwa mereka berasal
dari debu tanah dan akan kembali menjadi debu. Oleh karena itu, imam
atau diakon membubuhkan abu pada dahi kita sambil berkata: “Ingatlah, manusia berasal dari debu dan akan kembali menjadi debu”.
Abu dipergunakan untuk menandai permulaan Masa Pra-Paskah, yaitu masa
persiapan selama 40 hari menyambut Paskah. Ritual perayaan “Rabu Abu”
ditemukan dalam edisi awal Gregorian Sacramentary yang diterbitkan
sekitar abad kedelapan.
Dalam liturgi kita sekarang, dalam perayaan Rabu Abu, kita
mempergunakan abu yang berasal dari daun-daun palma yang telah diberkati
pada perayaan Minggu Palma tahun sebelumnya yang telah dibakar. Setelah
Pembacaan Injil dan homili, abu diberkati. Abu yang telah diberkati
oleh gereja menjadi benda sakramentalia.
Sementara kita mencamkan makna abu ini dan berjuang untuk
menghayatinya terutama sepanjang Masa Pra-Paskah, patutlah kita
mempersilakan Roh Kudus untuk menggerakkan kita dalam karya dan amal
belas kasihan terhadap sesama. Bapa Suci dalam pesan Masa Pra-Paskah
pernah mengatakan, “Merupakan harapan saya yang terdalam bahwa umat
beriman akan mendapati Masa Pra-Paskah ini sebagai masa yang
menyenangkan untuk menjadi saksi belas kasih Injil di segala tempat,
karena panggilan untuk berbelas kasihan merupakan inti dari segala
pewartaan Injil yang sejati. Beliau juga menyesali bahwa “abad kita,
sungguh sangat disayangkan, terutama rentan terhadap godaan akan
kepentingan diri sendiri yang senantiasa berkeriapan dalam hati manusia…
Suatu hasrat berlebihan untuk memiliki akan menghambat manusia dalam
membuka diri terhadap Pencipta mereka dan terhadap saudara-saudari
mereka.”
Dalam Masa Pra-Paskah ini, tindakan belas kasihan yang tulus, yang
dinyatakan kepada mereka yang berkekurangan, haruslah menjadi bagian
dari silih kita, tobat kita, dan pembaharuan hidup kita, karena
tindakan-tindakan belas kasihan semacam itu mencerminkan kesetiakawanan
dan keadilan yang teramat penting bagi datangnya Kerajaan Allah di dunia
ini. Rabu Abu, tanda akan ketidak-abadian dunia, dan tanda bahwa satu
satunya “keselamatan” adalah dari Tuhan Allah kita. Selamat memasuki
masa Pra paskah. (TNH/AP)
Tabloid Bejana 11/Maret/Th. I/2011 (Thanks to TNH)
Naskah diambil dari sini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar