Kamis, 23 Februari 2012

RABU ABU

Misa Rabu Abu tahun ini sebagai pembuka masa Pra-Paskah diselenggarakan secara serentak oleh Gereja Katolik di seluruh penjuru dunia pada Rabu, 9 Maret 2011. Rabu Abu, merupakan permulaan Masa Pra-Paskah, masa pertobatan, pemeriksaan batin dan berpantang guna mempersiapkan diri untuk Kebangkitan Kristus dan Penebusan dosa.
Pada Rabu Abu kita menerima abu di kening kita, karena sejak lama, bahkan berabad-abad sebelum Kristus, abu telah menjadi tanda tobat. Penggunaan abu dalam liturgi berasal dari jaman Perjanjian Lama. Abu melambangkan perkabungan, ketidak-abadian, dan sesal/tobat. Sebagai contoh, dalam Buku Ester, Mordekhai mengenakan kain kabung dan abu ketika ia mendengar perintah Raja Ahasyweros dari Persia untuk membunuh semua orang Yahudi dalam kerajaan Persia. Ayub menyatakan sesalnya dengan duduk dalam debu dan abu. Dalam nubuatnya tentang penawanan Yerusalem ke Babel, Daniel menulis, “Lalu aku mengarahkan mukaku kepada Tuhan Allah untuk berdoa dan bermohon, sambil berpuasa dan mengenakan kain kabung serta abu.” (Dan 9:3). Di abad kelima SM, sesudah Yunus menyerukan agar orang berbalik kepada Tuhan dan bertobat, kota Niniwe memaklumkan puasa dan mengenakan kain kabung, dan raja menyelubungi diri dengan kain kabung lalu duduk di atas abu.
Contoh-contoh dari Perjanjian Lama di atas merupakan bukti atas praktek penggunaan abu dan pengertian akan makna yang dilambangkannya.
Yesus sendiri juga menyinggung soal penggunaan abu: kepada kota-kota yang menolak untuk bertobat dari dosa-dosa mereka meskipun mereka telah menyaksikan mukjizat-mukjizat dan mendengar kabar gembira, Kristus berkata, “Seandainya mukjizat-mukjizat yang telah terjadi di tengah-tengahmu terjadi di Tirus dan Sidon, maka sudah lama orang-orang di situ bertobat dengan memakai pakaian kabung dan abu.” (Mat 11:21)
Jaman dahulu orang-orang Kristen yang melakukan dosa berat diwajibkan untuk menyatakan tobat mereka di hadapan umum. Pada Hari Rabu Abu, Uskup memberkati baju kasar yang harus mereka kenakan selama empat puluh hari serta menaburi mereka dengan abu. Kemudian sementara umat mendaraskan Tujuh Mazmur Tobat, orang-orang yang berdosa berat itu diusir dari gereja. Mereka tidak diperkenankan masuk gereja hingga mereka memperoleh rekonsiliasi dengan bertobat sungguh-sungguh selama empat puluh hari dan menerima Sakramen Pengakuan Dosa. Sesudah itu semua umat, baik umum maupun mereka yang baru saja memperoleh rekonsiliasi, bersama-sama mengikuti Misa untuk menerima abu.
Bapa Pius Parsch, dalam bukunya “The Church’s Year of Grace” menyatakan bahwa “Rabu Abu Pertama” terjadi di Taman Eden setelah Adam dan Hawa berbuat dosa. Tuhan mengingatkan mereka bahwa mereka berasal dari debu tanah dan akan kembali menjadi debu. Oleh karena itu, imam atau diakon membubuhkan abu pada dahi kita sambil berkata: “Ingatlah, manusia berasal dari debu dan akan kembali menjadi debu”.
Abu dipergunakan untuk menandai permulaan Masa Pra-Paskah, yaitu masa persiapan selama 40 hari menyambut Paskah. Ritual perayaan “Rabu Abu” ditemukan dalam edisi awal Gregorian Sacramentary yang diterbitkan sekitar abad kedelapan.
Dalam liturgi kita sekarang, dalam perayaan Rabu Abu, kita mempergunakan abu yang berasal dari daun-daun palma yang telah diberkati pada perayaan Minggu Palma tahun sebelumnya yang telah dibakar. Setelah Pembacaan Injil dan homili, abu diberkati. Abu yang telah diberkati oleh gereja menjadi benda sakramentalia.
Sementara kita mencamkan makna abu ini dan berjuang untuk menghayatinya terutama sepanjang Masa Pra-Paskah, patutlah kita mempersilakan Roh Kudus untuk menggerakkan kita dalam karya dan amal belas kasihan terhadap sesama. Bapa Suci dalam pesan Masa Pra-Paskah pernah mengatakan, “Merupakan harapan saya yang terdalam bahwa umat beriman akan mendapati Masa Pra-Paskah ini sebagai masa yang menyenangkan untuk menjadi saksi belas kasih Injil di segala tempat, karena panggilan untuk berbelas kasihan merupakan inti dari segala pewartaan Injil yang sejati. Beliau juga menyesali bahwa “abad kita, sungguh sangat disayangkan, terutama rentan terhadap godaan akan kepentingan diri sendiri yang senantiasa berkeriapan dalam hati manusia… Suatu hasrat berlebihan untuk memiliki akan menghambat manusia dalam membuka diri terhadap Pencipta mereka dan terhadap saudara-saudari mereka.”
Dalam Masa Pra-Paskah ini, tindakan belas kasihan yang tulus, yang dinyatakan kepada mereka yang berkekurangan, haruslah menjadi bagian dari silih kita, tobat kita, dan pembaharuan hidup kita, karena tindakan-tindakan belas kasihan semacam itu mencerminkan kesetiakawanan dan keadilan yang teramat penting bagi datangnya Kerajaan Allah di dunia ini. Rabu Abu, tanda akan ketidak-abadian dunia, dan tanda bahwa satu satunya “keselamatan” adalah dari Tuhan Allah kita. Selamat memasuki masa Pra paskah. (TNH/AP)
Tabloid Bejana 11/Maret/Th. I/2011 (Thanks to TNH)


Naskah diambil dari sini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar